Kamis, 24 Maret 2011

Problematika


PROBLEMATIKA
PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Slamet, S.Pd *)

         Pengertian budi pekerti masih kabur dan belum ditemukan makna yang benar-benar pas. Banyak pihak masih berupaya menemukan rumusan yang paling baik untuk mendifinisikan persoalan yang satu ini. Para ahli pendidikan menerjemahkan budi pekerti menurut versi dan disiplin ilmu masing-masing. Mungkin sekali budi pekerti diartikan dari segi etika, sopan santun, agama, filsafat dan lain-lain.
Dari aspek etimologi, budi pekerti terdiri dari dua kata yaiyu budi dan pekerti. Kata budi berarti nalar, pikiran, watak. Sedangkan pekert berarti tabiat dan akhlak. Jadi kata budi pekerti berarti tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. (Poerwadarmint0 dalam Suwardi, 2005:1)
Senada dengan pengertian tersebut, Padmopuspito (1996:1) menurut asal kata budi pekerti, yakni budi berasal dari bahasa Sanskerta dari kata budh artinya sadar, budi berarti kesadaran, kata pekerti dua kata dasar berarti perbuatan. Unsur ini mempunyai pertalian erat. Maksudnya budi terdapat pada batin manusia, sifatnya tan kasat mata (tak terlihat). Budi seseorang baru tampak apabila seseorang talah melakukan sesuatu ke dalam bentuk pekerti.
Dari makna tersebut dapat dikemukakan bahwa budi pekerti itu watak atau perbuatan seseorang sebagai perwujudan pemikiran. Budi adalah alat batin yang merupakan perpaduan akal, keinginan dan perasaan untuk mempertimbangkan hal yang baik dan buruk. Pekerti merupakan pencerminan batin. Dengan demikian dapat dinyatakan budi pekerti itu merupakan sikap dan perilaku (tingkah laku, solah bawa, muna-muni) yang dilandasi oleh kegiatan berfikir atau olah batin. Tentu saja yang dimaksud adalah proses berfikir yang sehat sehingga menghasilkan budi pekerti yang baik.
Sesuai dengan pendapat Ki Hajar Dewantara (Supriyoko, 2000:4) bahwa budi pekerti adalah merupakan perilaku social seseorang yang didasarkan pada kematangan jiwanya. Kematangan jiwa akan melahirkan budi pekerti yang luhur. Budi pekerti luhur artinya sikap dan perilaku seseorang yang disamping didasarkan kematangan jiwa (internal) juga diselaraskan dengan kaidah social yang berlaku di masyarakat sekitarnya (eksternal). Pendek kata orang yang berbudi pekerti luhur dalam bertindak akan menggunakan perasaan, pemikiran, dan dasar pertimbangan yang jelas. (Ediyana, 1998:102)
Budi pekerti merupakan perpaduan dari cipta, rasa, karsa yang diaktualisasikan ke dalam sikap, kata-kata, dan tingkah laku seseorang. Budi pekerti yang mempresentasikan tabiat, watak, akhlak, dan moral, sekaligus mencerminkan sikap batin seseorang, sikap batin ini akan terefleksi dalam tingkah laku seseorang. Pencerminan batin tersebut dalam wawasan religious disebut akhlakul karimah (sikap dan tindakan mulia). Jadi budi pekerti mulia merupakan implementasi nilai-nilai luhur bangsa, yakni sikap dan perilaku yang mampu menimbang hal-hal yang baik dan buruk, kemudian memilih ke hal-hal yang baik dan dijalankannya.
Dalam aktualisasinya budi pekerti dapat menjadi kebaikan dan menjadi kejahatan. Kebaikan dan kejahatan akan selalu bertempur dan mewarnai kehidupan seseorang. Dengan kata lain dalampergaulan manusia dapat menampakan berbudi pekerti yang baik (good character) dan sebaliknya juga dapat menampakkan budi pekerti yang jelek (bad character). Kedua sifat dan atau gaya hidup tersebut akan selalu tarik menarik dan saling berebut kemenangan, dominan yang mana, akankah menjadi yang baik atau yang buruk.

Ciri Budi Pekerti Luhur dan Tercela
Budi pekerti luhur dan tercela selalu mewarnai kehidupan manusia. Keduanya sering tarik-menarik tidak pernah ada hasilnya dalam diri manusia. Keduanya juga sama-sama kuat dalam pengaruhnya. Secara natural sejak lahir akan bercitra baik apabila dapat mengalahkan budi pekerta tercela, dan jika manusia kalah dalam melawan budi pekerti tercela hidupnya menjadi hina, jelek, buruk, berperilaku kurang baik, dan tidak terpuji.
Budi pekerti luhur merupakan perwujudan etika pergaulan yang dilandasi oleh tata karma akhlakul karimah (keluhuran dan keutamaan budi pekerti). Budi pekerti luhur memiliki peranan tertentu dalam kehidupan manusia, antara lain akan berharga bagi proses berlangsungan hidup. Orang yang berbudi luhur tergolong memiliki akhlak yang terpuji. Sebaliknya orang yang berbudi pekerti tercela adalah tergolong orang yang berakhlah tidak terpuji/ buruk. Budi pekerti luhur merupakan sikap dan perilaku yang didasari oleh ajaran moral luhur, yakni ajaran moral yang berkaitan dengan perbuatan dan kelakuan sebagai pengejawantahan akhlak atau budi pekerti. Budi pekerti luhur merupakan sikap dan tindakan yang lahir dari pancaran sifat-sifat Tuhan. Sifat pancaran Tuhan dan asmaul husna itu akan menyadarkan manisia agar berbuat sebaik-baiknya. Jadi budi pekerti luhur adalah prestasi moralitas terbaik seseorang atau suatu bangsa. Sebaliknya budi pekerti tercela merupakan bagian dari akhlak yang jelek sebagai bentuk kemunduran moral seseorang atau suatu kaum/bangsa.
Manusia yang memiliki budi pekerti luhur (akhlak mulia) setidak-tidaknya menurut Nasution dalam Suwardi (2005:7) dalam perilakunya antara lain bercirikan: (1) taqwa, (2) ingat kepada Tuhan, (3) tawakal, (4) bertobat, (5) malu, (6) adil, (7) bersyukur, (8) ikhlas, (9) sabar, (10) jujur, (11) peramah, (12) pemaaf, (13) suka menolong, (14) menghargai orang lain, (15) bijaksana, (16) berjihad, (17) berani, (18) periang, dan (19) setia. Ciri-ciri tersebut menyangkut hubungan manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan Tuhan, hal ini berarti bahwa budi pekerti luhur akan menyangkut hubungan yang bersifat horizontal dan vertical.
Sebaliknya apabila pergaulan social diwarnai oleh “bad character” tindakan yang tidak terpuji, maka interaksi social akan terhambat. Akibatnya diantara pihak yang berhubungan social akan terjadi keretakan. Diantara ciri-ciri budi pekerti tercela yang dapat menghambat pergaulan, antara lain sikap dan perilaku: (1) sombong, (2) kikir, (3) cabul, (4) iri/dengki, (5) rakus/tamak, (6) pemarah, (7) pemalas, (8) angkuh, (9) cerewet, (10) sok, (11) pembantah, (12) ingkar janji, (13) rendah diri, (14) pemurung, (15) mudah tersinggung, (16) egois, (17) berlebih-lebihan. (Yatmana dalam Suwardi, 2005:8).
Manakala budi pekerti luhur yang unggul, mendominasi dalam praktik kehidupan, berarti cahaya Tuhan telah merasuk dalam kehidupan manusia, manusia akn disayangi Tuhan dan juga dicintai sesamanya. Akibatnya hidup akan menjadi ama, tenteram, senang gembira, damai dan sejahtera. Namun apabila budi pekerti tercelah yang umbuh dan berkembang dalam diri seseorang, hidup mereka akan selalu risau dan gundah gulana. Hidup di dunia bagaikan sebuah hukuman/siksaan dan kemungkinan akan bertindak nekad semaunya sendiri dan lepas control. Hidup mereka menjadi bahan pergunjingan banyak orang.

Sosialisasi dan Penanaman Budi Pekerti
Sosialisasi budi pekerti, khususnya di sekolah dapat dilakukan melalui proses integrasi dengan bidang-bidang lain. Misalnya  budi pekerti diintegrasikan ke dalam mata pelajaran di sekolah seperti : Agama, PKn, PKK, Muatan Lokal, Seni Budaya dan lain sebagainya. Melalui kegiatan intregatif ini anak didik sedikit demi sedikit akan memahami budi pekerti secara wajar, maksudnya, mereka dapat menerima nilai-nilai budi pekerti secara alamiah, tanpa paksaan. Sayangnya hal semacam ini belum dirancang secara matang. Para guru belum memiliki visi dan misi sama dalam kegiatan sosialisasi pendidikan budi pekerti.
Di luar sekolah baik dalam keluarga maupun masyarakat sosialisasi pendidikan budi pekerti juga masih meraba-raba mencari bentuk. Bahkan sampai saat ini belum ada kejelasan bentuk sosialisasi yang dapat dilaksanakan bagi semua lapisan masyarakat ataupun semua keluarga. Oleh karena itu setiap institusi memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Generasi yang harus menerima dan atau mengembangkan budi pekertipun juga berlainan.
Sosialisasi pendidikan budi pekerti sesungguhnya merupakan wahana penanaman nilai yang di dalamnya tidak hanya sekedar mentranfer nilai, melainkan melalui proses kristalisasi nilai. Secara tradisional penanaman nilai menjadi tanggung jawab orang tua dan lembaga. Sayngnya kedua pilar yang mestinya lebih bertanggung jawab terhadap sosialisasi nilai budi pekerti ini belum berusaha secara optimal. Padahal generasi penerus selalu mengharapkan adanya tuntunan yang bisa dijadikan sebagai petunjuk arah agar tidak tersesat. Generasi penerus membutuhkan figur-figur orang tua dan tokoh mayarakat yang dapat dijadikan acuan.
Patut disadari bahwa penanaman nilai budi pekerti kurang tepat jika menggunakan system indoktrinasi. Nilai bukanlah doktrin-doktrin yang harus dipaksakan. Generasi penerus adalah makluk yang memiliki hak asasi, sehingga tidak harus dicekoki dengan nilai-nilai, melainkan biarlah nilai-nilai itu diramu, dimasukkan ke dalam diri, dan direspon secara alamiah oleh mereka secara sadar. Jika generasi mendatang setiap saat harus dijejali dengan nilai-nilai dengan sistem wejangan boleh jadi suatu ketika akan merasa muak. Akan lebih mengena biarlah nilai budi pekerti berproses secara cultural dan alamiah dalam diri mereka. Dengan cara ini budi pekerti akan menjadi miliknya dan tidak sekedar dipahami sebagai ilmu pengetahuan belaka.
Itulah sebabnya pendidikan budi pekerti perlu disampaikan dalam suasana yang kondusif dan tidak memasung kreatifitas penerimanya. Generasi penerima harus diberi ruang gerak untuk berfikir kritis terhadap tawaran nilai budi pekerti, bahkan sangat mungkin budi pekerti yang ditawarkan tidak harus seragam diantara individu /kelompok tertentu sehingga memahami prinsip relativisme. Pendidikan budi pekerti merupakan usaha memasyarakatkan hak asasi manusia serta perlawanan terhadap ketidak adilan dengan terbentuk suatu hubungan social yang adil dan bebas dari kekerasan.
Penanaman pendidikan budi pekerti yang menerapkan metode hikayat yang cenderung mengisahkan masalah dan tidak ada hubungan dengan dunia sekarang, kiranya kurang relevan. Berbeda dengan sistem pendidikan riwayat yang antar lain menggambarkan apa yang diajarkan berkaitan dengan kehidupan generasi sekarang, justru lebih cocok sebagai metode penanaman dan sosialisasi budi pekerti. Sistem pendidikan riwayat merupakan pedagogic kritis yang mentransfer ilmu pengetahuan dan budi pekerti sebagai sejarah di mana peserta didik diharapkan mampu menginternalisasi nilai dan ikut terlibat.
Melalui demokratisasi pendidikan sosialisasi budi pekerti akan menuju pembaharuan kultur dan norma peradapan. Dalam kaitan ini internalisasi budi pekerti ditempuh melalui interaksi pengajar dan subjek didik, orang tua kepada anaknya, pimpinan kepada bawahannya, berjalan secara wajar.
Interaksi penanaman budi pekerti tidak medikte peserta didik seperti penggunaan sistem drill, upaya menjejalkan materi budi pekerti dalam waktu singkat jelas tidak relevan dengan sistem ini. Jika budi pekerti ditebarkan dengan menyuapi peserta didik dan generasi penerus dengan berbagai informasi yang tinggal ditelan saja, tanpa ada kesempatan untuk menemukan dan mencari sendiri informasi sesuai dengan keinginan dan minatnya, jelas hanya akan mendidik budi pekerti semu. Peserta didik akan diarahkan menjadi robot dan bukan sebagai manusia yang lebih beradab atau berbudaya melalui proses pendidikan humanistis.
Karenanya metode penanaman budi pekerti perlu berwawasan pragmatic,  yakni kearah pemberian nilai yang tepat guna, dan juga tetap dalam iklim kebebasan. Sosialisasi perlu terbuka dan penuh dialog yang sehat dan bertanggung jawab sehingga tidak tidak tercipta budaya ABS (asal Bapak senang).
Budi pekerti merupakan domain afektif yang dibentuk melalui minat, apresiasi, sikap, nilai, penyesuaian, dan pembiasaan. Proses semacam ini menggambarkan bahwa penanaman budi pekerti tidak sekedar mentransfer nilai, melainkan proses kristalisasi nilai.

Tugas Sekolah dalam Penanaman Budi Pekerti
Sekolah adalah wahana yang paling strategis untuk membantu keluarga dan masyarakat dalam penanaman budi pekerti. Meskipun siswa hanya terbatas berada di lingkungan sekolah namun di sekolah siswa lebih patuh dan mudah diarahkan budi pekertinya. Paling tidak dengan keterkaitan siswa pada nilai raport, dan atau ijazah yang selalu dikaitkan dengan budi pekerti merekan akan lebih bertanggung jawab.
Bermula dari rasa terpaksa dan model pembiasaan siswa akan terlatih untuk berbuat sesuai dengan norma-norma sopan santun, yang ditunjukkan oleh guru. Etika akademik perlu ditumbuhkan bahkan agar budi pekerti di sekolah tidak rapuh. Diantara etika akademik yang menyangkut budi pekerti ilmiah misalnya siswa dilarang menyontek dalam mengerjakan tes dan ujian
Peran guru dalam implementasi pendidikan budi pekerti tidak mudah. Guru dituntut menjadi figur : ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Diartikan sebagai sikap pemimpin (guru) harus mampu memberi tauladan kepada murid-muridnya, mampu memotivasi kepada muridnya untuk belajar giat, dan mampu menumbuhkan rasa percaya diri muridnya untuk mempelajari sesuatu sesuai sesuai bakat minat dan kemampuan, serta merestui dan mengarahkan.

*) Slamet, S.Pd
Guru SDN 6 Tubanan Kec. Kembang
    Ketua KKG Gugus Rama UPT Dinas Dikpora Kecamatan Kembang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar